.
A. Pendahuluan
Puasa
adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, Allah SWT menjadikannya
sebagai suatu kewajiban mutlak bagi setiap kaum muslimin pada bulan Ramadhan.
Puasa juga memiliki nilai lebih tersendiri dari ibadah-ibadah lainnya.
Allah
SWT sangat mencintai hamba-Nya yang gemar melakukan puasa sunnah, seperti puasa
senin dan kamis, puasa ayyam al-bidl (tiga hari setiap bulan). Puasa enam
hari pada bulan syawwal, puasa pada bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram, dan Rajab) serta puasa sunnah lainnya.
Namun,
lagi-lagi umat Islam, khususnya di Nusantara kembali dibingungkan dengan
merebahnya penyakit bid’ah ketika hendak melakukan amalan-amalan yang
sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat. Ada sebagian kelompok yang
mempermasalahkan bahkan mengangap bahwa puasa di bulan Rajab adalah bid’ah
dan tidak ada anjuran tersendiri dari Rasulullah SAW. Berikut adalah ulasan
singkat pendapat para Ulama tentang hukum mengamalkan puasa Rajab.
B. Kontroversi Puasa Rajab
Ada sebagian
kelompok yang mengatakan bahwa dalil yang digunakan sebagai argumentasi dianjurkannya
puasa Rajab adalah hadits-hadits yang dhoif (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan landasan
hukum untuk mengamalkannya. Seperti hadits Rasulullah SAW:
( إن في الجنة نهراً يقال له رجب ماؤه أبيض من اللبن وأحلى من العسل
من صام يوماً من رجب سقاه الله من ذلك النهر )
“Sesungguhnya
di dalam surga ada sebuah sungai yang disebut dengan Rajab, airnya lebih putih
dari susu dan lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpausa pada bulan Rajab
niscaya Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut”.
Lantas
bagaimana sebenarnya hukum berpuasa pada bulan Rajab menurut para ulama’? Jika
dipandang hadits yang digunakan landasan puasa adalah hadits dhoif ?
C. Hukum Puasa Rajab
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
Pertama, mayoritas ulama Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat
bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari.
Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab
secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada
bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan hilang apabila tidak berpuasa
dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab, atau dengan berpuasa pada bulan yang
lain.
D. Dalil Puasa Rajab
Rasulullah
SAW bersabda:
( كلُّ عَمَلِ ابْنِ
آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ )
"Semua
amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh
ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia
untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya."
Dalam
hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda;
( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ
اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا )
Barang
siapa yg berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya
dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.
Dalam
riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ مُجِيْبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيْهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ
:أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ
بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
أَمَا تَعْرِفُنِيْ. قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيِّ الَّذِيْ جِئْتُكَ
عَامَ اْلأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا
أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ. ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ
وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِيْ فَإِنَّ بِيْ قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ
قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ
وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ
الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا. رواه أبو داود
Dari
Mujibah Al-Bahiliah dari ayahnya atau pamannya sesungguhnya ia (ayah atau
paman) datang kepada Rasulullah SAW kemudian berpisah dan kemudian datang lagi
kepada Rasulullah SAW setelah setahun dalam keadaan tubuh yang berubah (kurus),
dia berkata : Wahai Rasululllah, apakah engkau tidak mengenalku? Rasulullah SAW
menjawab : siapa engkau? Dia pun berkata : Aku Al-Bahili yang pernah menemuimu
setahun yang lalu. Rasulullah SAW bertanya : apa yang membuatmu berubah
sedangkan dulu keadaanmu baik-baik saja (segar-bugar), ia menjawab : aku tidak
makan kecuali pada malam hari (yakni berpuasa) semenjak berpisah denganmu, maka
Rasulullah SAW bersabda : mengapa engkau menyiksa dirimu, berpuasalah di bulan
sabar dan sehari di setiap bulan, lalu ia berkata : tambahlah lagi (wahai
Rasulallah) sesungguhnya aku masih kuat. Rasulullah SAW berkata : berpuasalah 2
hari (setiap bulan), dia pun berkata : tambah lagi wahai Rasulalloh. Rasulullah
SAW berkata : berpuasalah 3 hari (setiap bulan), ia pun berkata: tambah lagi
(wahai Rasulallah), Rasulullah SAW bersabda :jika engkau menghendaki
berpuasalah engkau di bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan
Muharrom) dan jika engkau menghendaki maka tinggalkanlah, beliau mengatakan hal
itu tiga kali sambil menggemgam 3 jarinya kemudian membukanya.
Beberapa
hadist diatas adalah anjuran Rasulullah SAW kepada umat Islam untuk melakukan
puasa sunnah. Pada hadits terakhir dijelaskan bahwa Rasulullah juga
menganjurkan kepada Al-Bahili untuk melakukan puasa pada asyhur al-hurum (bulan-bulan
haram), yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Jadi
sangat jelas, bahwa berpuasa pada bulan Rajab sama sekali tidak ada larangan di
dalamnya, bahkan sangat dianjurkan.
E. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Adapun
hukum mengamalkan hadits dhaif, Imam Syamsuddin bin Abdurrahman as-Sakhawi
dalam kitabnya al-Qaul al-Badî’ fî ash-Shalâh ‘alâ al-Habîb al-Syâfî‘, menyebutkan
ada 3 madzhab dalam mengamalkan hadis dhaif, antara lain:
Pertama, boleh mengamalkan hadis dhaif secara mutlak, baik dalam bab fadlâil
al-a’mâl, maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan
syarat dhaifnya tidak dhaif syadîd (lemah sekali), dan juga tidak ada
dalil lain selain hadis tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan
hadis tersebut.
Kedua, boleh dan sunnah mengamalkan hadis dhaif dalam bab fadlâil al-a’mâl,
zuhud, nasihat, selain hukum syariat dan akidah, selama hadis tersebut bukan
hadis maudhû‘ (palsu). Ini adalah mazhab mayoritas para ulama ahli hadits, dan
ahli fikih, serta ulama lainnya. Diantaranya adalah Imam Ibnu al-Mubarak, Imam
Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, Imam al-Sakhawi,
dan para ulama hadis yang lain,
Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadis dhaif secara mutlak, baik dalam bab
fadlâil al-a’mâl maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam Abu
Bakar Ibnu al-Arabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal ad-Dawwani.
F. Kesimpulan
Setelah
menghadirkan beberapa argumentasi diatas, telah jelas bahwa puasa Rajab sangat dianjurkan
oleh Rasulullah SAW., dengan pendapat yang telah disepakati oleh mayoritas
ulama Imam madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, bahwa puasa di bulan Rajab adalah
termasuk puasa yang disunnahkan, kecuali pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang
mengatakan makruh, namun kemakruhannya hanya sebatas jumlah bilangan hari
ketika dilakukan sebulan penuh. Adapun jika tidak berpuasa satu hari saja maka
kemakruhannya sudah hilang, atau juga bisa disambung dengan sehari sebelum atau
sesudah Rajab.
Dan boleh
mengamalkan hadits dhoif selama bukan dalam kategori hadits yang sangat lemah
dalam bab fadhail al-a’mal.
Allahu
Ta’ala A’lam Bis Shawab,-
Ditulis
oleh : Achmad Dzulfikar Fawzi (Mahasiswa tingkat akhir, fakultas Syariah
Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Mesir).