Minggu, 10 April 2016

Puasa Rajab, Antara Perintah dan Larangan

.    

A. Pendahuluan

Puasa adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, Allah SWT menjadikannya sebagai suatu kewajiban mutlak bagi setiap kaum muslimin pada bulan Ramadhan. Puasa juga memiliki nilai lebih tersendiri dari ibadah-ibadah lainnya.

Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang gemar melakukan puasa sunnah, seperti puasa senin dan kamis, puasa ayyam al-bidl (tiga hari setiap bulan). Puasa enam hari pada bulan syawwal, puasa pada bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) serta puasa sunnah lainnya.

Namun, lagi-lagi umat Islam, khususnya di Nusantara kembali dibingungkan dengan merebahnya penyakit bid’ah ketika hendak melakukan amalan-amalan yang sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat. Ada sebagian kelompok yang mempermasalahkan bahkan mengangap bahwa puasa di bulan Rajab adalah bid’ah dan tidak ada anjuran tersendiri dari Rasulullah SAW. Berikut adalah ulasan singkat pendapat para Ulama tentang hukum mengamalkan puasa Rajab.

B. Kontroversi Puasa Rajab

Ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa dalil yang digunakan sebagai argumentasi dianjurkannya puasa Rajab adalah hadits-hadits yang dhoif  (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk mengamalkannya. Seperti hadits Rasulullah SAW:

( إن في الجنة نهراً يقال له رجب ماؤه أبيض من اللبن وأحلى من العسل من صام يوماً من رجب سقاه الله من ذلك النهر )

“Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah sungai yang disebut dengan Rajab, airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpausa pada bulan Rajab niscaya Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut”.

Lantas bagaimana sebenarnya hukum berpuasa pada bulan Rajab menurut para ulama’? Jika dipandang hadits yang digunakan landasan puasa adalah hadits dhoif  ?

CHukum Puasa Rajab

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.

Pertama, mayoritas ulama Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari.

Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab, atau dengan berpuasa pada bulan yang lain.

D. Dalil Puasa Rajab

Rasulullah SAW bersabda:

( كلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ )

"Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya."

Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda;

( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا )

Barang siapa yg berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.

Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ مُجِيْبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيْهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ :أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِيْ. قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيِّ الَّذِيْ جِئْتُكَ عَامَ اْلأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ. ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِيْ فَإِنَّ بِيْ قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا. رواه أبو داود

Dari Mujibah Al-Bahiliah dari ayahnya atau pamannya sesungguhnya ia (ayah atau paman) datang kepada Rasulullah SAW kemudian berpisah dan kemudian datang lagi kepada Rasulullah SAW setelah setahun dalam keadaan tubuh yang berubah (kurus), dia berkata : Wahai Rasululllah, apakah engkau tidak mengenalku? Rasulullah SAW menjawab : siapa engkau? Dia pun berkata : Aku Al-Bahili yang pernah menemuimu setahun yang lalu. Rasulullah SAW bertanya : apa yang membuatmu berubah sedangkan dulu keadaanmu baik-baik saja (segar-bugar), ia menjawab : aku tidak makan kecuali pada malam hari (yakni berpuasa) semenjak berpisah denganmu, maka Rasulullah SAW bersabda : mengapa engkau menyiksa dirimu, berpuasalah di bulan sabar dan sehari di setiap bulan, lalu ia berkata : tambahlah lagi (wahai Rasulallah) sesungguhnya aku masih kuat. Rasulullah SAW berkata : berpuasalah 2 hari (setiap bulan), dia pun berkata : tambah lagi wahai Rasulalloh. Rasulullah SAW berkata : berpuasalah 3 hari (setiap bulan), ia pun berkata: tambah lagi (wahai Rasulallah), Rasulullah SAW bersabda :jika engkau menghendaki berpuasalah engkau di bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharrom) dan jika engkau menghendaki maka tinggalkanlah, beliau mengatakan hal itu tiga kali sambil menggemgam 3 jarinya kemudian membukanya.

Beberapa hadist diatas adalah anjuran Rasulullah SAW kepada umat Islam untuk melakukan puasa sunnah. Pada hadits terakhir dijelaskan bahwa Rasulullah juga menganjurkan kepada Al-Bahili untuk melakukan puasa pada asyhur al-hurum (bulan-bulan haram), yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Jadi sangat jelas, bahwa berpuasa pada bulan Rajab sama sekali tidak ada larangan di dalamnya, bahkan sangat dianjurkan.

EHukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Adapun hukum mengamalkan hadits dhaif, Imam Syamsuddin bin Abdurrahman as-Sakhawi dalam kitabnya al-Qaul al-Badî’ fî ash-Shalâh ‘alâ al-Habîb al-Syâfî‘, menyebutkan ada 3 madzhab dalam mengamalkan hadis dhaif, antara lain:

Pertama, boleh mengamalkan hadis dhaif secara mutlak, baik dalam bab fadlâil al-a’mâl, maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan syarat dhaifnya tidak dhaif syadîd (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadis tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadis tersebut.

Kedua, boleh dan sunnah mengamalkan hadis dhaif dalam bab fadlâil al-a’mâl, zuhud, nasihat, selain hukum syariat dan akidah, selama hadis tersebut bukan hadis maudhû‘ (palsu). Ini adalah mazhab mayoritas para ulama ahli hadits, dan ahli fikih, serta ulama lainnya. Diantaranya adalah Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadis yang lain,

Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadis dhaif secara mutlak, baik dalam bab fadlâil al-a’mâl maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam Abu Bakar Ibnu al-Arabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal ad-Dawwani.

F. Kesimpulan

Setelah menghadirkan beberapa argumentasi diatas, telah jelas bahwa puasa Rajab sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW., dengan pendapat yang telah disepakati oleh mayoritas ulama Imam madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, bahwa puasa di bulan Rajab adalah termasuk puasa yang disunnahkan, kecuali pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan makruh, namun kemakruhannya hanya sebatas jumlah bilangan hari ketika dilakukan sebulan penuh. Adapun jika tidak berpuasa satu hari saja maka kemakruhannya sudah hilang, atau juga bisa disambung dengan sehari sebelum atau sesudah Rajab.

Dan boleh mengamalkan hadits dhoif selama bukan dalam kategori hadits yang sangat lemah dalam bab fadhail al-a’mal.

Allahu Ta’ala A’lam Bis Shawab,-


Ditulis oleh : Achmad Dzulfikar Fawzi (Mahasiswa tingkat akhir, fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Mesir).


0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About