Senin, 19 Oktober 2015

Sejarah Ushul Fikih; Sebuah Pengantar




11.  Pendahuluan

Dulu pada zaman Sahabat[1], jika ada permasalahan yang muncul seputar Islam, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW yang menjadi rujukan dan sumber utama kaum muslim saat itu. Namun hal semacam ini tidak bisa terus berkelanjutan ketika Nabi SAW meninggal dunia, permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tidaklah semua sama, seiring berkembangnya zaman dan berubahnya tempat dan keadaan, maka muncul masalah-masalah baru yang tidak ada dan tidak sama pada zaman Nabi SAW., serta membutuhkan observasi khusus untuk memecahkan masalah tersebut. 

Kemudian dalam memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist Nabi SAW, seseorang tidak bisa langsung beristinbath[2] tanpa mempunyai ilmu dasar sebagai pengantar agar bisa memahami maksud dari keduanya. Maka dari itu, setelah berganti generasi dari zaman sahabat ke zaman pengikutnya, mayoritas ulama telah sepakat untuk membuat rumusan ilmu tentang tata cara mengambil hukum dari Al Quran dan Sunnah yang disebut dengan ilmu Ushul Fikih. 

Sedangkan dalam bermuamalah dengan Islam, Shaikh Ali Jumah dalam bukunya Al-Mutasyaddidûn telah membagi mukallaf menjadi dua kategori; Mujtahid[3] dan muqollid[4]. Mujtahid bertugas untuk berijtihad dan mengambil hukum syariat dari Al-Quran dan Sunnah, sedangkan muqollid wajib untuk mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. 

Namun fakta yang muncul dan berkembang di beberapa masyarakat Islam, ada sebagian aliran ekstrem yang mengaku dan menggembor-gemborkan bahwa mereka selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, akan tetapi tidak mau mengikuti para imam mujtahid. Sejatinya, mereka adalah kelompok yang salah paham dan keliru dalam memahami Al-Quran maupun hadist Nabi SAW dengan mengambilnya secara mentah-mentah tanpa melihat beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi sebelum mengambil hukum.

Oleh karena itu, perlu kiranya umat Islam secara umum mengetahui kembali bagaimana sejarah para ulama terdahulu membuat ilmu ushul fikih dan menjadikannya sebagai jembatan untuk mengmbil hukum dari Al Quran, Sunnah dan dalil-dalil syar’i yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga dengan berubahnya zaman, keadaan dan kondisi manusia, mereka bisa tetap menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan utama umat islam sampai kapanpun dan dimanapun mereka berada.

22.  Definisi Ushul Fikih 

Makna ushul fikih dibagi menjadi dua kategori. Pertama, yaitu sebelum kalimat tersebut dijadikan sebagai isim alam {red: satu kata} antara ushul dan fikih, dan kedua yaitu setelah kalimat tersebut dijadikan sebagai isim alam, yakni ushul fikih. 

Adapun makna ushul fikih secara umum adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil fikih secara global, proses pengambilan hukum darinya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mujtahid { red; orang yang mengambil hukum}[5]

33.  Sejarah Berkembangnya Ilmu Ushul Fikih

Ilmu ushul fikih tidak bisa dipisahkan dengan adanya fikih, karena ushul fikih adalah pondasi dan fikih adalah bangunannya. Kemudian, mana dari kedua ilmu tersebut yang lahir dan berkembang terlebih dahulu?. Shaikh Ali Jumah dalam bukunya Tarikh Ushul Fiqh berpendapat bahwa ushul fikih telah lahir sebelum fikih itu ada, akan tetapi fikih lebih dahulu ditetapkan kaidah-kaidah dasarnya kemudian dibukukan.[6]

Adapun ushul fikih, berikut adalah sedikit ulasan dalam sejarah lahir, muncul dan berkembangnya sejak zaman Rasulullah SAW sampai saat ini.

I. Ushul Fikih di Era Rasulullah SAW

Pada masa awal Islam, ketika Nabi Muhammad SAW sebagai sang pembawa risalah masih ada, para sahabat sudah mempraktikan tata cara mengambil hukum dari Al-Quran maupun Hadist. Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah SAW memimpin umat Islam dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Saat Nabi SAW berada di Makkah, embrio ushul fikih belum muncul, dikarenakan ayat-ayat yang turun hanya seputar persoalan akidah, namun saat Nabi SAW hijrah ke Madinah dan mulai memusatkan pemerintahan Islam disana, barulah nampak embrio Ushul Fikih, dikarenakan ayat-ayat yang turun saat itu mayoritas adalah ayat-ayat hukum.

Konon, Sahabat Abdullah Bin Mas’ud ditanya tentang berapa lama masa iddah[7] bagi seorang istri yang sedang hamil, maka beliau menjawab bahwa iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi dalam kandungannya, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

و اللئى يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر و اللئى لم يحضن وأولت الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا     [8]
4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Dan firman Allah Ta’ala yang turun sebelum ayat diatas yaitu:

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن فى أنفسهن بالمعروف والله بما تعملون خبير 
 
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dari dua ayat diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa sahabat Abdullah ibn Mas’ud mengambil hukum dari nash tersebut dan secara tidak langsung mempraktikan kaidah beristinbath  yang sekarang dikenal dengan  ilmu ushul fikih. Adapun kaidah tersebut yaitu
إن التص اللاحق ينسخ النص السابق maksudnya, bahwa nash yang datang berikutnya dan hukumnya masih berkaitan, maka nash yang sebelumnya dinasakh. (red: dihapus hukumnya)

Dari kejadian Abdullah bin Mas’ud tersebut, secara tidak langsung Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada beliau dan para Sahabat umumnya untuk berijtihad, dan mengambil hukum terhadap sebuah permasalahan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat Islam. 


II. Ushul Fikih di Era Khulafa ar-Rasyidun

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, sistem pemerintahan kaum muslim saat itu digantikan oleh para khalifah yang telah dipilih dari mufakat mayoritas sahabat saat itu, dan disebut dengan Khulafa ar-Rasyidun. Mereka adalah Abu Bakar as-Shiddiq (11H - 13H), Umar bin Khattab (13H - 23H), Ustman bin Affan (23H - 35H), dan Ali bin Abi Thalib (35H- 40H)[9].

Pada masa pemerintahan para khalifah, umat Islam mulai banyak tersebar ke berbagai penjuru dunia seperti Kufah, Bashrah, Syam dan Mesir. Sejalan dengan bertambah luasnya area pemerintahan masyarakat muslim, tentu persoalan yang muncul juga semakin banyak, dan tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Dalam menghadapi berbagai persoalan, tentu yang pertama dilakukan para sahabat adalah kembali ke Al-Quran, jika dalam Al-Quran masih belum ditemukan jawabannya secara jelas, maka mereka kembali ke Hadist Nabi SAW, dan jika belum menemukannya juga, mereka baru berijtihad dengan kaidah-kaidah syariat.

Saat itu juga, banyak ditemui fatwa-fatwa yang muncul bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya dalam Al-Quran maupun Sunnah, karena salah satu tugas para Sahabat yang ditunjuk sebagai Gubernur di daerah mereka masing-masing adalah sebagai pemegang otorias fikih jika ada permasalahan baru, dan mereka mulai mengimplementasikan metode dan kaidah berintinbath seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

Cara semacam ini terus berkelanjutan hingga masa Sahabat berakhir dan beralih ke masa Tabi’in, mereka hanya melanjutkan cara para sahabat dalam mengambil hukum dan mengeluarkan kaidah-kaidah syariat dalam pengambilan dalil, karena dekatnya masa mereka dengan masa sahabat yang langsung mengambil ilmu dari Rasulullah SAW.

·              III. Ushul Fikih di Era Mujtahid 

Fase ini disebut sebagai fase sistematisasi, dimana Ushul Fikih mulai dibukukan sebagai salah satu bidang ilmu dalam tata cara pengambilan hukum dalam syariat Islam. Dan ulama yang pertama kali mempunyai inisiatif dalam hal ini adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’I (150H – 204H) dengan karya monumentalnya yang berjudul Ar-Risalah.

Namun, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sebelum Imam Syafi’i membukukan Ushul Fikih, pada zaman Imam Abu Hanifah ada ulama lain yang sudah membuat karangan tentang ilmu beristinbath namun tidak ada manuskrip yang sampai ke zaman setelahnya.[10]



44.  Metodologi Para Ulama dalam Ilmu Ushul Fikih

Para ulama dalam mengarang ushul fikih menggunakan cara yang berbeda, hal ini didasari oleh latar belakang mereka dalam mempelajari ilmu syariat dari para guru. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 

                               I.            Metode Ilmu Kalam

Dalam mengambil hukum, para ulama ushul fikih mempunyai metode masing-masing untuk dapat memahami nash dan mengambil hukum darinya, dan diantara metode yang dipakai yaitu metode para ulama ahli ilmu kalam. Dalam hal ini, para mutakallimin (red; ahli ilmu kalam) mempunyai ciri khas tersendiri, diantaranya adalah;


a.  Lebih condong kepada dalil ‘aqli dalam beristinbath
b. Tidak ada fanatisme dalam madzhab tertentu
c. Meminimalisir dalam pembahasan furu’ fiqhiyah, sekalipun dalam memberi contoh dalam sebuah permasalahan

Metode ini juga digunakan oleh kalangan Mu’tazilah, Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah. Dan kitab-kitab yang dihasilkan melalui metode ini diantaranya adalah Al-Burhan karya Imam Haramain (413 H), Al-Mushtashfa karya Imam Ghazali (505 H), dan Al-Mu’tamad karya ulama Mu’tazilah Abu Hasan Muhammad Bin Ali (436 H)

                            II.            Metode Hanafiyah atau Fuqoha

Selain metode ilmu kalam yang disebutkan diatas, para ulama ushul fikih juga memiliki cara pandang lain lain dalam beristimbath yang lebih dikenal dengan istilah metode Hanafiyah atau Fuqoha. Tegasnya, dalam metode ini para ulama juga memiliki ciri khas tersendiri, yaitu:

a. Lebih condong menambil hukum dengan memulainya dari furu’ fiqhiyyah
b. Berpegang teguh pada prinsip madzhab Hanafi sebagai imam madzhab
c. Melakukan penelitian dan observasi khusus pada permasalahan yang dihadapi

Dan beberapa kitab yang dikarang dengan metode Hanafiyah adalah Al-Ushul karya Imam Abu Bakar bin Ali Al-Jashos (370 H), dan kitab Al-Ushul karya Imam Abu Zaid Abdullah bin Umar Ad-Dabusi (430 H)

                         III.            Metode Kombinasi antara Ilmu Kalam dan Hanafiyah

Tidak puas dengan kedua metode diatas, para ulama membuka jalan baru dengan cara menggabungkan kedua metode tersebut, Ilmu kalam dan Hanafiyah
Diantara ulama yang menggunakan metode ini adalah Malikiyah, Hanafiyah, yah, dan Hanabilah. Dan kitab-kitab yang dilahirkan dalam metode ini diantaranya adalah At-Tanqih karya Imam Abdullah bin Mas’ud Al-Hanafi (747 H), Syarh at-Taudhih karya Imam Ahmad bin Ali Al-Hanafi (649 H)

55. Penutup

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam mengambil hukum dari Al-Quran maupun Sunnah, tidak serta-merta menggunakan akal yang masih kosong dan tidak memahami ilmu syariat dalam beristinbath. Oleh karena itu, dalam bermuamalah dengan agama, masyarakat awam tidak bisa langsung beristinbath tanpa belajar terlebih dahulu, dan wajib hukumnya bagi mereka yang belum sampai ke tingkatan Mujtahid untuk mengambil hukum.

Semoga risalah singkat ini membawa manfaat bagi al-Faqir khususnya, dan bagi kaum muslim pada umumnya, amin.

Daftar Pustaka
1        Dr. Ali Jumah Muhammad, Tarikh Ushul Fiqh, Dar Muqatam, Kairo
2.      Jamaludȋn Abdul Rahim Ibn Hasan al-Isnawȋ, Nihayat as-Sûl fȋ ‘ilmȋ al-Ushûl, Dar Ibn Hazm, Lebanon, th. 1999.
3.      Jalaludin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Manar, Kairo.
4.      Muhammad bin Idris as-Syafii, Ar-Risalah , Maktabah Dar al-Turath, Kairo. Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir
5.      Dr. Ali Jumah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasat al-Madzhib al-Fiqhiyah, Dar al-Salam, Kairo.
6.      Dr. Ali Jumah Muhammad, Al-Mutasyaddidun, Dar Muqatam, Kairo
7.      Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Diktat tingkat III Syariah Islamiah Universitas Al-Azhar



[1] Sahabat yang dimaksud adalah umat islam yang hidup di zaman Nabi SAW, bertemu dan mengambil ilmu dari beliau.
[2] Istinbath adalah Proses pengambilan hukum dari Al-Quran maupun Sunnah Nabi SAW
[3] Mujtahid adalah orang yang berijtihad, yang telah dianggap mampu dan memenuhi syarat untuk mengambil hukum
[4] Muqollid adalah orang awam yang mengikuti hasil mujtahid
[5] Jamaludȋn Abdul Rahim Ibn Hasan al-Isnawȋ, Nihayat as-Sûl fȋ ‘ilmȋ al-Ushûl, Dar Ibn Hazm, Lebanon, th. 1999, hlm. 7.
[6] Dr. Ali Jumah Muhammad, Tarikh Ushul Fiqh, Dar Muqatam, Kairo

[7] Masa menunggu bagi seorang istri agar tidak menikah terlebih dahulu ketika ditinggal suaminya meninggal
[8] Q.S. Al-Thalaq; 4
[9] Jalaudin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Manar, Kairo.
[10] Dr. Ali Jumah, Tarikh Ushul Fiqh , Dar al-Manar, Kairo. Cet pertama, hlm 32.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About