Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. sang pembawa risalah
kebenaran, pemisah antara yang haq dan bathil. Amma ba’du,
Jika membincang tentang Al-Azhar, ibarat samudera yang tak kan
pernah surut airnya, luas dan takkan ada habisnya. Sepanjang sejarah Islam pada
abad ke-9 Masehi, Al-Azhar lahir dimasa kepemimpinan Jauhar As-Siqilli,
panglima besar dinasti Fathimiyah saat itu, sebagai pusat penyebaran madzhab
Syiah di Mesir. Tapi tak berjalan lama, dinasti Fathimiyah runtuh di tangan
khalifah Shalahuddin al-Ayyubi, roda perputaran Syiah di Mesir juga mulai
memudar, dan berpindah nafas menjadi Sunni, hingga Al-Azhar menjadi pusat
penyebaran madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah sejak saat itu hingga sekarang.
Bukan hanya di Mesir, tapi sayap Al-Azhar telah menggema di seluruh
antero jagad. Selama ribuan tahun eksistensi Al-Azhar telah diakui, ia mampu
melahirkan ribuan ulama yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan
menjawab berbagai problematika yang dihadapi umat Islam. Maka dari itu, tidak
berlebih kiranya apa yang sering diungkapkan oleh para ulama, bahwa ka’bah
adalah kiblat untuk sholat, dan Al-Azhar adalah kiblat untuk ilmu.
Layaknya piramid yang ribuan tahun tak pernah roboh diterpa panas
dan badai, sebagai institusi tertua di dunia, dimana banyak institusi lainnya
yang berdiri sezaman dengannya saat ini hanya tinggal nama dan sejarah, berbeda
dengan Al-Azhar yang tetap eksis. Hal ini karena Al-Azhar mempunyai sebuah
keistimewaan yang tak dimiliki lainnya. Syaikh Usamah Sayyid Al-Azhari
menyebutnya sebagai sebuah “Manhaj”, yang telah diwariskan oleh para
ulama Al-Azhar dari generasi dahulu ke generasi selanjutnya, dan telah dipegang
teguh oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, yaitu manhaj Aswaja (baca: Ahlussunnah
wal Jamaah), dengan menganut empat madzhab dalam bidang fikih, Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali.
Al-Allamah Prof. Dr. Ali Gomaa, mantan Mufti Agung Republik Arab Mesir
sekaligus guru besar Al-Azhar, pernah mengungkapkan dalam salah satu
majelisnya, bahwa Al-Azhar adalah salah satu keajaiban milik umat Islam seluruh
dunia, karena Allah SWT menjagannya berabad-abad
untuk melestarikan ajaran ulama salaf dengan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah, serta
menjadi benteng dari pemahaman-pemahaman radikal maupun liberal yang meresahkan
masyarakat Islam belakangan ini. Oleh karena itu, beliau selalu berpesan kepada
para murid untuk selalu rajin datang ke mejelis-majelis ilmu yang ada di
ruwaq-ruwaq masjid Al-Azhar, mentransfer ilmu dari seorang guru ke murid,
hingga benar-benar sanad keilmuan yang didapat adalah murni terjaga
keasliannya, dan diharapkan kelak ketika sudah berkiprah di masyarakat adalah
menjadi seorang panutan dan tauladan umat, memahami dan mengajarkan agama
dengan ilmu yang utuh, bukan pengetahuan yang setengah-tengah.
Berangkat dari penjelasan Dr. Ali Gomaa diatas, sebenarnya
begitulah cita-cita dan harapan besar Al-Azhar kepada setiap pelajar yang
datang dari berbagai Negara, untuk mengais serpihan ilmu yang tersebar luas di
Al-Azhar, selain belajar di Jami’ah (universitas), seharusnya mereka
juga menyempatkan diri untuk belajar berbagai cabang ilmu di Jami’
(masjid), karena Al-Azhar bukan hanya Jami’ah tapi juga Jami’. Begitu
juga seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Prof. Dr. Abdul Fadhil Al-Qushi,
bahwa masa depan Al-Azhar berada ditangan para alumninya, karena mereka-lah
yang akan menjadi duta Al-Azhar di seluruh dunia.
Setiap tahunnya, Al-Azhar selalu ramai dengan banyaknya mahasiswa
baru yang ingin mengais ilmu darinya. Dari ujung Timur hingga Barat, dari
bangsa Arab maupun ‘Ajam, semua berbondong-bondong untuk berangkat ke Negeri
Musa ini, dengan satu tujuan, yaitu Al-Azhar As-Syarif. Sama halnya dengan para
pelajar dari Indonesia, atau yang biasa akrab disebut dengan masisir (red:
mahasiswa Indonesia di Mesir), ratusan pelajar dari berbagai daerah dan pulau
di Nusantara berkumpul jadi satu, dibawah bendera Al-Azhar. Lazimnya mahasiswa
baru, ketika baru datang di Mesir, tentu tujuan utama mereka tak lepas dari
belajar. Bertahun-tahun menguras ilmu dari Al-Azhar, ada yang menempuh program
sarjana, magister, bahkan doktor, hingga tiap tahunnya Indonesia tak pernah
kekurangan kader-kader terbaiknya dari Mesir untuk pulang dan kembali membangun
Negeri ketika sudah selesai masa studinya, mengaplikasikan ilmu yang didapat
dari Al-Azhar untuk membantu kehidupan masyarakat, menjadi sumber inspirasi
bagi banyak orang hingga bisa mewarnai di segala bidang. Apapun profesi yang
akan dijalani, baik menjadi seorang da’i, pengusaha, dokter, maupun yang
lainnya, semua harus tetap mempunyai satu tujuan yang sama sebagai duta
Al-Azhar, yaitu menebar risalah Al-Azhar di bumi pertiwi.
Namun, realita yang terjadi dilapangan tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan, jika semua pelajar dan alumni Al-Azhar di Indonesia bersama-sama
merenungi, sejak tahun berapa Al-Azhar mengeluarkan alumninya? Berapa banyak alumni
Al-Azhar yang sudah berkiprah di Indonesia? Apakah saat ini, detik ini,
Al-Azhar sudah dikenal banyak orang? Apakah masyarakat Indonesia sudah mengenal
para ulama dan masyayikh Al-Azhar? Dan sejauh mana, nama guru-guru kita, para
ulama Al-Azhar menggema di Indonesia? Sungguh sangat ironis, jika ada pelajar
Al-Azhar yang sudah menghabiskan waktunya selama bertahun-tahun di Mesir tapi ketika
sudah lulus, mendapat ijazah dan pulang, mereka lupa dengan almamater yang
telah membesarkan dirinya. Apalagi, jika ada dari alumni yang berdakwah dengan
metode yang berbelakangan dengan manhaj Al-Azhar, bukannya ikut berpartisipasi
dalam “kampanye” berkidmah untuk membesarkan nama Al-Azhar dan ulamanya, malah
merusak nama baik Al-Azhar di masyarakat. Wal Iyadzu Billah
Oleh karena itu, jangan bangga jika anda hanya mempunyai ijazah
Al-Azhar, karena ijazah hanyalah selembar kertas yang tertulis nilai dan
tersimpan rapi di lemari. Akan tetapi, banggalah jika anda telah memiliki ruh Al-Azhar
dan jiwa seorang Azhari, karena itulah
yang akan anda perjuangkan kelak di Indonesia.
Terakhir, bagi para pelajar yang masih berada di Mesir, hendaknya
kembali disibukkan dengan aktivitas-aktivitas ilmiah, terlebih untuk
mendekatkan diri dengan masyayikh Al-Azhar. Relasi tidak bisa dibangun sesaat,
tapi butuh mulazamah yang kuat dan terus-menerus untuk bisa membesarkan
nama Al-Azhar dan ulamanya di Negeri tercinta.
-Allahu
Ta’ala A’lam Bis Showab-
By : Achmad Dzulfikar Fawzi
(Mahasiswa tingkat akhir, Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar)
Kairo,
22 Oktober 2015