Jumat, 27 November 2015

Ternyata, Hanya Orang Buta yang Boleh menjadi Muazin di Masjid Al-Azhar!


Menjadi seorang muazin adalah sebuah keistimewaan yang diberikan Allah SWT. kepada para hamba-Nya yang terpilih. Semua umat Islam bisa mengumandangkan azan, tapi tidak semuanya terpilih untuk menjadi muazin di sebuah masjid ketika hendak menunaikan salat.

Rasulullah SAW., telah menjelaskan beberapa keutamaan bagi para muazin. Diantaranya adalah:

1. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang artinya,“Sesungguhnya para muazin itu adalah orang yang paling ‘panjang lehernya’ pada hari kiamat.” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Majah). Para ulama menafsirkan kalimat ‘panjang leher’ dengan orang yang paling banyak pahalanya, paling banyak mengharapkan ampunan dari Allah, paling bagus balasan amal perbuatannya, dan orang yang paling dekat dengan Allah SWT.

2. Hadist riwayat Imam al-Nasa’i, dari Abu Hurairah R.A berkata, “Suatu ketika, kami sedang berada bersama Rasulullah SAW., lalu kami melihat Bilal mengumandangkan azan. Setelah selesai, Rasulullah SAW., kemudian bersabda, “Barang siapa yang mengumandangkan (azan) seperti ini dengan penuh keyakinan, maka dia dijamin masuk surga.” (H.R Nasa’i).

3. Hadist riwayat Imam Ibnu Majah, yang artinya; “Barangsiapa yang mengumandangkan azan selama dua belas tahun, maka wajib baginya surga. Dan dengan azannya tersebut, dalam setiap harinya akan dituliskan enam puluh kebaikan, & tiga puluh kebaikan untuk setiap iqamah yg ia lakukan”. (HR. Ibnu Majah)

Dari beberapa hadist diatas, sangat jelas sekali bahwa seorang muazin memiliki keutamaan dan keistimewaan yang sangat agung disisi Allah SWT.. Namun, ada sebuah fenomena unik yang jarang diketahui oleh banyak orang, yaitu diantara syarat menjadi muazin di Mesir adalah orang tunanetra, seperti yang terjadi di masjid Al-Azhar, Kairo. Sebuah masjid yang terkenal dengan institusi Islam tertua di dunia, kiblat umat Islam dalam mencari ilmu, dan banyak melahirkan ulama-ulama handal seantero jagad. Apa alasan para ulama Al-Azhar hanya menjadikan orang tunanetra sebagai muazin?



Sebelum berbicara tentang hal itu, mari sekilas kita perhatikan bentuk dan tata letak masjid Al-Azhar serta kondisi sosial masyarakat Mesir saat itu. Masjid Al-Azhar adalah sebuah bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah (297 H./909 M.) yang terletak di pusat keramaian kota, Kairo. Arsitektur masjid ini berbentuk segi empat, dengan sebuah halaman besar tanpa atap di bagian tengah masjid, dan dikelilingi oleh empat ruangan besar di sebelah kanan dan kiri halaman tersebut, atau sering disebut dengan ruwaq-ruwaq masjid. Sedangkan di lantai atas, terdapat beberapa ruangan yang dikhususkan untuk azan ketika masuk waktu salat. Dalam kitab “Masăjid Misr” karya Dr. Sa’ad Mahir Mahmud disebutkan bahwa masjid Al-Azhar memiliki enam ruangan khusus di lantai atas untuk para muazin saat mengumandangkan azan.

Dulu, saat zaman belum mengenal banyak teknologi, azan hanya dilakukan dengan lisan tanpa pengeras suara, muazin naik ke tempat yang lebih tinggi agar suaranya terdengar lebih keras dan menyebar pada orang-orang di sekelilingnya. Salah satu adat yang berlaku saat itu, adalah hanya orang tunanetra yang boleh mengumandangkan azan di lantai atas masjid, khususnya masjid Al-Azhar. Hal ini dilakukan untuk menjaga aurat para penduduk sekitar masjid, agar tidak terlihat oleh orang lain, termasuk muazin, karena bentuk bangunan di Mesir yang dijadikan rumah-rumah warga adalah bangunan susun bertingkat. Jika muazinnya tunanetra, otomatis para tetangga sekitar masjid juga lebih merasa nyaman, karena auratnya lebih terjaga dari pandangan orang lain.

Namun, seiring berkembangnya zaman, dimana teknologi sudah semakin maju dan banyak membantu kehidupan masyarakat, tradisi semacam ini (muazin harus orang tunanetra) mulai ditinggalkan. Sekarang, siapapun boleh menjadi muazin di masjid Al-Azhar, baik orang tunanetra ataupun tidak, karena saat ini telah tersedia pengeras suara, jadi para muazin tidak perlu lagi naik ke lantai atas, atau menara masjid untuk azan, cukup di dalam masjid dengan memakai pengeras suara.

Allahu Ta’la A’lam bis Shawab,-

By: Achmad Dzulfikar Fawzi

Kairo, 27 November 2015

Kamis, 22 Oktober 2015

Jangan Bangga Dengan Ijazah Al-Azhar!





Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. sang pembawa risalah kebenaran, pemisah antara yang haq dan bathil. Amma ba’du,

Jika membincang tentang Al-Azhar, ibarat samudera yang tak kan pernah surut airnya, luas dan takkan ada habisnya. Sepanjang sejarah Islam pada abad ke-9 Masehi, Al-Azhar lahir dimasa kepemimpinan Jauhar As-Siqilli, panglima besar dinasti Fathimiyah saat itu, sebagai pusat penyebaran madzhab Syiah di Mesir. Tapi tak berjalan lama, dinasti Fathimiyah runtuh di tangan khalifah Shalahuddin al-Ayyubi, roda perputaran Syiah di Mesir juga mulai memudar, dan berpindah nafas menjadi Sunni, hingga Al-Azhar menjadi pusat penyebaran madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah sejak saat itu hingga sekarang. 

Bukan hanya di Mesir, tapi sayap Al-Azhar telah menggema di seluruh antero jagad. Selama ribuan tahun eksistensi Al-Azhar telah diakui, ia mampu melahirkan ribuan ulama yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan menjawab berbagai problematika yang dihadapi umat Islam. Maka dari itu, tidak berlebih kiranya apa yang sering diungkapkan oleh para ulama, bahwa ka’bah adalah kiblat untuk sholat, dan Al-Azhar adalah kiblat untuk ilmu.

Layaknya piramid yang ribuan tahun tak pernah roboh diterpa panas dan badai, sebagai institusi tertua di dunia, dimana banyak institusi lainnya yang berdiri sezaman dengannya saat ini hanya tinggal nama dan sejarah, berbeda dengan Al-Azhar yang tetap eksis. Hal ini karena Al-Azhar mempunyai sebuah keistimewaan yang tak dimiliki lainnya. Syaikh Usamah Sayyid Al-Azhari menyebutnya sebagai sebuah “Manhaj”, yang telah diwariskan oleh para ulama Al-Azhar dari generasi dahulu ke generasi selanjutnya, dan telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, yaitu manhaj Aswaja (baca: Ahlussunnah wal Jamaah), dengan menganut empat madzhab dalam bidang fikih, Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. 

Al-Allamah Prof. Dr. Ali Gomaa, mantan Mufti Agung Republik Arab Mesir sekaligus guru besar Al-Azhar, pernah mengungkapkan dalam salah satu majelisnya, bahwa Al-Azhar adalah salah satu keajaiban milik umat Islam seluruh dunia, karena Allah SWT menjagannya  berabad-abad untuk melestarikan ajaran ulama salaf dengan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah, serta menjadi benteng dari pemahaman-pemahaman radikal maupun liberal yang meresahkan masyarakat Islam belakangan ini. Oleh karena itu, beliau selalu berpesan kepada para murid untuk selalu rajin datang ke mejelis-majelis ilmu yang ada di ruwaq-ruwaq masjid Al-Azhar, mentransfer ilmu dari seorang guru ke murid, hingga benar-benar sanad keilmuan yang didapat adalah murni terjaga keasliannya, dan diharapkan kelak ketika sudah berkiprah di masyarakat adalah menjadi seorang panutan dan tauladan umat, memahami dan mengajarkan agama dengan ilmu yang utuh, bukan pengetahuan yang setengah-tengah. 

Berangkat dari penjelasan Dr. Ali Gomaa diatas, sebenarnya begitulah cita-cita dan harapan besar Al-Azhar kepada setiap pelajar yang datang dari berbagai Negara, untuk mengais serpihan ilmu yang tersebar luas di Al-Azhar, selain belajar di Jami’ah (universitas), seharusnya mereka juga menyempatkan diri untuk belajar berbagai cabang ilmu di Jami’ (masjid), karena Al-Azhar bukan hanya Jami’ah tapi juga Jami’. Begitu juga seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Prof. Dr. Abdul Fadhil Al-Qushi, bahwa masa depan Al-Azhar berada ditangan para alumninya, karena mereka-lah yang akan menjadi duta Al-Azhar di seluruh dunia. 

Setiap tahunnya, Al-Azhar selalu ramai dengan banyaknya mahasiswa baru yang ingin mengais ilmu darinya. Dari ujung Timur hingga Barat, dari bangsa Arab maupun ‘Ajam, semua berbondong-bondong untuk berangkat ke Negeri Musa ini, dengan satu tujuan, yaitu Al-Azhar As-Syarif. Sama halnya dengan para pelajar dari Indonesia, atau yang biasa akrab disebut dengan masisir (red: mahasiswa Indonesia di Mesir), ratusan pelajar dari berbagai daerah dan pulau di Nusantara berkumpul jadi satu, dibawah bendera Al-Azhar. Lazimnya mahasiswa baru, ketika baru datang di Mesir, tentu tujuan utama mereka tak lepas dari belajar. Bertahun-tahun menguras ilmu dari Al-Azhar, ada yang menempuh program sarjana, magister, bahkan doktor, hingga tiap tahunnya Indonesia tak pernah kekurangan kader-kader terbaiknya dari Mesir untuk pulang dan kembali membangun Negeri ketika sudah selesai masa studinya, mengaplikasikan ilmu yang didapat dari Al-Azhar untuk membantu kehidupan masyarakat, menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang hingga bisa mewarnai di segala bidang. Apapun profesi yang akan dijalani, baik menjadi seorang da’i, pengusaha, dokter, maupun yang lainnya, semua harus tetap mempunyai satu tujuan yang sama sebagai duta Al-Azhar, yaitu menebar risalah Al-Azhar di bumi pertiwi. 

Namun, realita yang terjadi dilapangan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, jika semua pelajar dan alumni Al-Azhar di Indonesia bersama-sama merenungi,  sejak tahun berapa Al-Azhar  mengeluarkan alumninya? Berapa banyak alumni Al-Azhar yang sudah berkiprah di Indonesia? Apakah saat ini, detik ini, Al-Azhar sudah dikenal banyak orang? Apakah masyarakat Indonesia sudah mengenal para ulama dan masyayikh Al-Azhar? Dan sejauh mana, nama guru-guru kita, para ulama Al-Azhar menggema di Indonesia? Sungguh sangat ironis, jika ada pelajar Al-Azhar yang sudah menghabiskan waktunya selama bertahun-tahun di Mesir tapi ketika sudah lulus, mendapat ijazah dan pulang, mereka lupa dengan almamater yang telah membesarkan dirinya. Apalagi, jika ada dari alumni yang berdakwah dengan metode yang berbelakangan dengan manhaj Al-Azhar, bukannya ikut berpartisipasi dalam “kampanye” berkidmah untuk membesarkan nama Al-Azhar dan ulamanya, malah merusak nama baik Al-Azhar di masyarakat. Wal Iyadzu Billah

Oleh karena itu, jangan bangga jika anda hanya mempunyai ijazah Al-Azhar, karena ijazah hanyalah selembar kertas yang tertulis nilai dan tersimpan rapi di lemari. Akan tetapi, banggalah jika anda telah memiliki ruh Al-Azhar dan jiwa  seorang Azhari, karena itulah yang akan anda perjuangkan kelak di Indonesia. 

Terakhir, bagi para pelajar yang masih berada di Mesir, hendaknya kembali disibukkan dengan aktivitas-aktivitas ilmiah, terlebih untuk mendekatkan diri dengan masyayikh Al-Azhar. Relasi tidak bisa dibangun sesaat, tapi butuh mulazamah yang kuat dan terus-menerus untuk bisa membesarkan nama Al-Azhar dan ulamanya di Negeri tercinta. 

-Allahu Ta’ala A’lam Bis Showab-

By : Achmad Dzulfikar Fawzi
(Mahasiswa tingkat akhir, Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar)

Kairo, 22 Oktober 2015


Rabu, 21 Oktober 2015

Mukjizat Nabi ; Antara Logika dan Teks Wahyu


Dalam kitab Fiqh al-Sirah milik Al-Allamah shaikh Said Ramadhan al-Buthi, pada mukadimah kitab dijelaskan bahwa dewasa ini, diantara usaha yang disebarkan oleh kelompok orientalis barat adalah berusaha menutup-nutupi keagungan risalah Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan bahwa mukjizat Rasulullah SAW tidak ‘sesakral’ seperti yang kita bayangkan. 

Seperti contoh burung Ababil  yang dikirim Allah untuk membunuh pasukan gajah Abraha saat itu, mereka katakan tidak nyata, dan menakwilkan ababil yang dimaksud adalah penyakit cacar. Disisi lain, mereka juga mengatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW tidak nyata dan menganggap bahwa peristiwa tersebut hanyalah terjadi di alam mimpi. 

Sebagai seorang muslim, kita wajib mengimani tentang mukjizat kenabian, meskipun kita tidak pernah hidup pada zaman Nabi dan melihat mukjizat itu secara nyata. Namun, jika semua mukjizat yang Allah berikan kepada para utusan-Nya itu selalu kita tarik pada nalar rasional dan logika, maka sulit bagi kita untuk menerimanya. Karena mukjizat sendiri adalah sesuatu yang muncul diluar adat dan kebiasaan manusia, kita hanya wajib untuk mengimani dan percaya akan mukjizat tersebut.

Lantas, bagaimana jika ada orang yang tidak percaya dengan mukjizat para Nabi, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil, tidak nyata dan tidak masuk akal?

Coba sekarang sebut saja satu contoh mukjizat yang masih ada dan nyata di depan kita, Al-Quran al-Karim. Selama berabad-abad lamanya al-Quran masih tetap relevan sebagai pedoman umat islam dan tidak pernah berubah. Diluar sana sudah banyak penelitian tentang ‘keautentikan’ Al-Quran secara ilmu sains, kedokteran, astronomi dan banyak lainnya, padahal zaman dulu sangat minim peralatan ilmiah untuk bisa mengetahui semua itu, tapi Rasulullah SAW sudah mendapatkan jawaban dari persoalan-persoalan yang terjadi saat itu dan yang akan datang, melalui mukjizat Al-Quran yang datang dari Allah SWT. 

Semoga Allah SWT selalu membuka pikiran kita untuk kebaikan, dan membimbing kita dalam kebenaran, serta menjauhkan kita dari semua hak yang jauh dari ridho-Nya.

-Allahu Ta’ala A’lam Bis Shawab-


Kairo, 21 Oktober
 
Achmad Dzulfikar Fawzi
(mahasiswa tingkat akhir, fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar)

Senin, 19 Oktober 2015

Sejarah Ushul Fikih; Sebuah Pengantar




11.  Pendahuluan

Dulu pada zaman Sahabat[1], jika ada permasalahan yang muncul seputar Islam, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW yang menjadi rujukan dan sumber utama kaum muslim saat itu. Namun hal semacam ini tidak bisa terus berkelanjutan ketika Nabi SAW meninggal dunia, permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tidaklah semua sama, seiring berkembangnya zaman dan berubahnya tempat dan keadaan, maka muncul masalah-masalah baru yang tidak ada dan tidak sama pada zaman Nabi SAW., serta membutuhkan observasi khusus untuk memecahkan masalah tersebut. 

Kemudian dalam memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist Nabi SAW, seseorang tidak bisa langsung beristinbath[2] tanpa mempunyai ilmu dasar sebagai pengantar agar bisa memahami maksud dari keduanya. Maka dari itu, setelah berganti generasi dari zaman sahabat ke zaman pengikutnya, mayoritas ulama telah sepakat untuk membuat rumusan ilmu tentang tata cara mengambil hukum dari Al Quran dan Sunnah yang disebut dengan ilmu Ushul Fikih. 

Sedangkan dalam bermuamalah dengan Islam, Shaikh Ali Jumah dalam bukunya Al-Mutasyaddidûn telah membagi mukallaf menjadi dua kategori; Mujtahid[3] dan muqollid[4]. Mujtahid bertugas untuk berijtihad dan mengambil hukum syariat dari Al-Quran dan Sunnah, sedangkan muqollid wajib untuk mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. 

Namun fakta yang muncul dan berkembang di beberapa masyarakat Islam, ada sebagian aliran ekstrem yang mengaku dan menggembor-gemborkan bahwa mereka selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, akan tetapi tidak mau mengikuti para imam mujtahid. Sejatinya, mereka adalah kelompok yang salah paham dan keliru dalam memahami Al-Quran maupun hadist Nabi SAW dengan mengambilnya secara mentah-mentah tanpa melihat beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi sebelum mengambil hukum.

Oleh karena itu, perlu kiranya umat Islam secara umum mengetahui kembali bagaimana sejarah para ulama terdahulu membuat ilmu ushul fikih dan menjadikannya sebagai jembatan untuk mengmbil hukum dari Al Quran, Sunnah dan dalil-dalil syar’i yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga dengan berubahnya zaman, keadaan dan kondisi manusia, mereka bisa tetap menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan utama umat islam sampai kapanpun dan dimanapun mereka berada.

22.  Definisi Ushul Fikih 

Makna ushul fikih dibagi menjadi dua kategori. Pertama, yaitu sebelum kalimat tersebut dijadikan sebagai isim alam {red: satu kata} antara ushul dan fikih, dan kedua yaitu setelah kalimat tersebut dijadikan sebagai isim alam, yakni ushul fikih. 

Adapun makna ushul fikih secara umum adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil fikih secara global, proses pengambilan hukum darinya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mujtahid { red; orang yang mengambil hukum}[5]

33.  Sejarah Berkembangnya Ilmu Ushul Fikih

Ilmu ushul fikih tidak bisa dipisahkan dengan adanya fikih, karena ushul fikih adalah pondasi dan fikih adalah bangunannya. Kemudian, mana dari kedua ilmu tersebut yang lahir dan berkembang terlebih dahulu?. Shaikh Ali Jumah dalam bukunya Tarikh Ushul Fiqh berpendapat bahwa ushul fikih telah lahir sebelum fikih itu ada, akan tetapi fikih lebih dahulu ditetapkan kaidah-kaidah dasarnya kemudian dibukukan.[6]

Adapun ushul fikih, berikut adalah sedikit ulasan dalam sejarah lahir, muncul dan berkembangnya sejak zaman Rasulullah SAW sampai saat ini.

I. Ushul Fikih di Era Rasulullah SAW

Pada masa awal Islam, ketika Nabi Muhammad SAW sebagai sang pembawa risalah masih ada, para sahabat sudah mempraktikan tata cara mengambil hukum dari Al-Quran maupun Hadist. Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah SAW memimpin umat Islam dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Saat Nabi SAW berada di Makkah, embrio ushul fikih belum muncul, dikarenakan ayat-ayat yang turun hanya seputar persoalan akidah, namun saat Nabi SAW hijrah ke Madinah dan mulai memusatkan pemerintahan Islam disana, barulah nampak embrio Ushul Fikih, dikarenakan ayat-ayat yang turun saat itu mayoritas adalah ayat-ayat hukum.

Konon, Sahabat Abdullah Bin Mas’ud ditanya tentang berapa lama masa iddah[7] bagi seorang istri yang sedang hamil, maka beliau menjawab bahwa iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi dalam kandungannya, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

و اللئى يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر و اللئى لم يحضن وأولت الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا     [8]
4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Dan firman Allah Ta’ala yang turun sebelum ayat diatas yaitu:

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن فى أنفسهن بالمعروف والله بما تعملون خبير 
 
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dari dua ayat diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa sahabat Abdullah ibn Mas’ud mengambil hukum dari nash tersebut dan secara tidak langsung mempraktikan kaidah beristinbath  yang sekarang dikenal dengan  ilmu ushul fikih. Adapun kaidah tersebut yaitu
إن التص اللاحق ينسخ النص السابق maksudnya, bahwa nash yang datang berikutnya dan hukumnya masih berkaitan, maka nash yang sebelumnya dinasakh. (red: dihapus hukumnya)

Dari kejadian Abdullah bin Mas’ud tersebut, secara tidak langsung Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada beliau dan para Sahabat umumnya untuk berijtihad, dan mengambil hukum terhadap sebuah permasalahan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat Islam. 


II. Ushul Fikih di Era Khulafa ar-Rasyidun

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, sistem pemerintahan kaum muslim saat itu digantikan oleh para khalifah yang telah dipilih dari mufakat mayoritas sahabat saat itu, dan disebut dengan Khulafa ar-Rasyidun. Mereka adalah Abu Bakar as-Shiddiq (11H - 13H), Umar bin Khattab (13H - 23H), Ustman bin Affan (23H - 35H), dan Ali bin Abi Thalib (35H- 40H)[9].

Pada masa pemerintahan para khalifah, umat Islam mulai banyak tersebar ke berbagai penjuru dunia seperti Kufah, Bashrah, Syam dan Mesir. Sejalan dengan bertambah luasnya area pemerintahan masyarakat muslim, tentu persoalan yang muncul juga semakin banyak, dan tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Dalam menghadapi berbagai persoalan, tentu yang pertama dilakukan para sahabat adalah kembali ke Al-Quran, jika dalam Al-Quran masih belum ditemukan jawabannya secara jelas, maka mereka kembali ke Hadist Nabi SAW, dan jika belum menemukannya juga, mereka baru berijtihad dengan kaidah-kaidah syariat.

Saat itu juga, banyak ditemui fatwa-fatwa yang muncul bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya dalam Al-Quran maupun Sunnah, karena salah satu tugas para Sahabat yang ditunjuk sebagai Gubernur di daerah mereka masing-masing adalah sebagai pemegang otorias fikih jika ada permasalahan baru, dan mereka mulai mengimplementasikan metode dan kaidah berintinbath seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

Cara semacam ini terus berkelanjutan hingga masa Sahabat berakhir dan beralih ke masa Tabi’in, mereka hanya melanjutkan cara para sahabat dalam mengambil hukum dan mengeluarkan kaidah-kaidah syariat dalam pengambilan dalil, karena dekatnya masa mereka dengan masa sahabat yang langsung mengambil ilmu dari Rasulullah SAW.

·              III. Ushul Fikih di Era Mujtahid 

Fase ini disebut sebagai fase sistematisasi, dimana Ushul Fikih mulai dibukukan sebagai salah satu bidang ilmu dalam tata cara pengambilan hukum dalam syariat Islam. Dan ulama yang pertama kali mempunyai inisiatif dalam hal ini adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’I (150H – 204H) dengan karya monumentalnya yang berjudul Ar-Risalah.

Namun, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sebelum Imam Syafi’i membukukan Ushul Fikih, pada zaman Imam Abu Hanifah ada ulama lain yang sudah membuat karangan tentang ilmu beristinbath namun tidak ada manuskrip yang sampai ke zaman setelahnya.[10]



44.  Metodologi Para Ulama dalam Ilmu Ushul Fikih

Para ulama dalam mengarang ushul fikih menggunakan cara yang berbeda, hal ini didasari oleh latar belakang mereka dalam mempelajari ilmu syariat dari para guru. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 

                               I.            Metode Ilmu Kalam

Dalam mengambil hukum, para ulama ushul fikih mempunyai metode masing-masing untuk dapat memahami nash dan mengambil hukum darinya, dan diantara metode yang dipakai yaitu metode para ulama ahli ilmu kalam. Dalam hal ini, para mutakallimin (red; ahli ilmu kalam) mempunyai ciri khas tersendiri, diantaranya adalah;


a.  Lebih condong kepada dalil ‘aqli dalam beristinbath
b. Tidak ada fanatisme dalam madzhab tertentu
c. Meminimalisir dalam pembahasan furu’ fiqhiyah, sekalipun dalam memberi contoh dalam sebuah permasalahan

Metode ini juga digunakan oleh kalangan Mu’tazilah, Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah. Dan kitab-kitab yang dihasilkan melalui metode ini diantaranya adalah Al-Burhan karya Imam Haramain (413 H), Al-Mushtashfa karya Imam Ghazali (505 H), dan Al-Mu’tamad karya ulama Mu’tazilah Abu Hasan Muhammad Bin Ali (436 H)

                            II.            Metode Hanafiyah atau Fuqoha

Selain metode ilmu kalam yang disebutkan diatas, para ulama ushul fikih juga memiliki cara pandang lain lain dalam beristimbath yang lebih dikenal dengan istilah metode Hanafiyah atau Fuqoha. Tegasnya, dalam metode ini para ulama juga memiliki ciri khas tersendiri, yaitu:

a. Lebih condong menambil hukum dengan memulainya dari furu’ fiqhiyyah
b. Berpegang teguh pada prinsip madzhab Hanafi sebagai imam madzhab
c. Melakukan penelitian dan observasi khusus pada permasalahan yang dihadapi

Dan beberapa kitab yang dikarang dengan metode Hanafiyah adalah Al-Ushul karya Imam Abu Bakar bin Ali Al-Jashos (370 H), dan kitab Al-Ushul karya Imam Abu Zaid Abdullah bin Umar Ad-Dabusi (430 H)

                         III.            Metode Kombinasi antara Ilmu Kalam dan Hanafiyah

Tidak puas dengan kedua metode diatas, para ulama membuka jalan baru dengan cara menggabungkan kedua metode tersebut, Ilmu kalam dan Hanafiyah
Diantara ulama yang menggunakan metode ini adalah Malikiyah, Hanafiyah, yah, dan Hanabilah. Dan kitab-kitab yang dilahirkan dalam metode ini diantaranya adalah At-Tanqih karya Imam Abdullah bin Mas’ud Al-Hanafi (747 H), Syarh at-Taudhih karya Imam Ahmad bin Ali Al-Hanafi (649 H)

55. Penutup

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam mengambil hukum dari Al-Quran maupun Sunnah, tidak serta-merta menggunakan akal yang masih kosong dan tidak memahami ilmu syariat dalam beristinbath. Oleh karena itu, dalam bermuamalah dengan agama, masyarakat awam tidak bisa langsung beristinbath tanpa belajar terlebih dahulu, dan wajib hukumnya bagi mereka yang belum sampai ke tingkatan Mujtahid untuk mengambil hukum.

Semoga risalah singkat ini membawa manfaat bagi al-Faqir khususnya, dan bagi kaum muslim pada umumnya, amin.

Daftar Pustaka
1        Dr. Ali Jumah Muhammad, Tarikh Ushul Fiqh, Dar Muqatam, Kairo
2.      Jamaludȋn Abdul Rahim Ibn Hasan al-Isnawȋ, Nihayat as-Sûl fȋ ‘ilmȋ al-Ushûl, Dar Ibn Hazm, Lebanon, th. 1999.
3.      Jalaludin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Manar, Kairo.
4.      Muhammad bin Idris as-Syafii, Ar-Risalah , Maktabah Dar al-Turath, Kairo. Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir
5.      Dr. Ali Jumah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasat al-Madzhib al-Fiqhiyah, Dar al-Salam, Kairo.
6.      Dr. Ali Jumah Muhammad, Al-Mutasyaddidun, Dar Muqatam, Kairo
7.      Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Diktat tingkat III Syariah Islamiah Universitas Al-Azhar



[1] Sahabat yang dimaksud adalah umat islam yang hidup di zaman Nabi SAW, bertemu dan mengambil ilmu dari beliau.
[2] Istinbath adalah Proses pengambilan hukum dari Al-Quran maupun Sunnah Nabi SAW
[3] Mujtahid adalah orang yang berijtihad, yang telah dianggap mampu dan memenuhi syarat untuk mengambil hukum
[4] Muqollid adalah orang awam yang mengikuti hasil mujtahid
[5] Jamaludȋn Abdul Rahim Ibn Hasan al-Isnawȋ, Nihayat as-Sûl fȋ ‘ilmȋ al-Ushûl, Dar Ibn Hazm, Lebanon, th. 1999, hlm. 7.
[6] Dr. Ali Jumah Muhammad, Tarikh Ushul Fiqh, Dar Muqatam, Kairo

[7] Masa menunggu bagi seorang istri agar tidak menikah terlebih dahulu ketika ditinggal suaminya meninggal
[8] Q.S. Al-Thalaq; 4
[9] Jalaudin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Manar, Kairo.
[10] Dr. Ali Jumah, Tarikh Ushul Fiqh , Dar al-Manar, Kairo. Cet pertama, hlm 32.
 

Blogger news

Blogroll

About