11. Pendahuluan
Dulu pada zaman Sahabat,
jika ada permasalahan yang muncul seputar Islam, mereka langsung bertanya
kepada Rasulullah SAW yang menjadi rujukan dan sumber utama kaum muslim saat
itu. Namun hal semacam ini tidak bisa terus berkelanjutan ketika Nabi SAW
meninggal dunia, permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tidaklah semua
sama, seiring berkembangnya zaman dan berubahnya tempat dan keadaan, maka
muncul masalah-masalah baru yang tidak ada dan tidak sama pada zaman Nabi SAW.,
serta membutuhkan observasi khusus untuk memecahkan masalah tersebut.
Kemudian dalam memahami
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist Nabi SAW, seseorang tidak
bisa langsung beristinbath
tanpa mempunyai ilmu dasar sebagai pengantar agar bisa memahami maksud dari
keduanya. Maka dari itu, setelah berganti generasi dari zaman sahabat ke zaman
pengikutnya, mayoritas ulama telah sepakat untuk membuat rumusan ilmu tentang
tata cara mengambil hukum dari Al Quran dan Sunnah yang disebut dengan ilmu
Ushul Fikih.
Sedangkan dalam bermuamalah dengan Islam, Shaikh Ali Jumah dalam
bukunya Al-Mutasyaddidûn telah membagi mukallaf menjadi dua
kategori; Mujtahid
dan muqollid.
Mujtahid bertugas untuk berijtihad dan mengambil hukum syariat dari
Al-Quran dan Sunnah, sedangkan muqollid wajib untuk mengikuti hasil ijtihad
para mujtahid.
Namun fakta yang muncul dan
berkembang di beberapa masyarakat Islam, ada sebagian aliran ekstrem yang mengaku
dan menggembor-gemborkan bahwa mereka selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan
As-Sunnah, akan tetapi tidak mau mengikuti para imam mujtahid. Sejatinya,
mereka adalah kelompok yang salah paham dan keliru dalam memahami Al-Quran
maupun hadist Nabi SAW dengan mengambilnya secara mentah-mentah tanpa melihat
beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi sebelum mengambil hukum.
Oleh karena itu, perlu kiranya umat Islam secara umum mengetahui
kembali bagaimana sejarah para ulama terdahulu membuat ilmu ushul fikih dan
menjadikannya sebagai jembatan untuk mengmbil hukum dari Al Quran, Sunnah dan
dalil-dalil syar’i yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga dengan
berubahnya zaman, keadaan dan kondisi manusia, mereka bisa tetap menjadikan
Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan utama umat islam sampai kapanpun dan
dimanapun mereka berada.
22.
Definisi Ushul Fikih
Makna ushul fikih dibagi menjadi dua kategori. Pertama, yaitu
sebelum kalimat tersebut dijadikan sebagai isim alam {red: satu kata}
antara ushul dan fikih, dan kedua yaitu setelah kalimat tersebut dijadikan
sebagai isim alam, yakni ushul fikih.
Adapun makna ushul fikih secara umum adalah ilmu yang digunakan
untuk mengetahui dalil-dalil fikih secara global, proses pengambilan hukum darinya,
serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mujtahid { red; orang yang
mengambil hukum}
33. Sejarah Berkembangnya Ilmu Ushul Fikih
Ilmu ushul fikih tidak bisa dipisahkan dengan adanya fikih, karena
ushul fikih adalah pondasi dan fikih adalah bangunannya. Kemudian, mana dari
kedua ilmu tersebut yang lahir dan berkembang terlebih dahulu?. Shaikh Ali
Jumah dalam bukunya Tarikh Ushul Fiqh berpendapat bahwa ushul fikih telah
lahir sebelum fikih itu ada, akan tetapi fikih lebih dahulu ditetapkan kaidah-kaidah
dasarnya kemudian dibukukan.
Adapun ushul fikih, berikut adalah sedikit ulasan dalam sejarah
lahir, muncul dan berkembangnya sejak zaman Rasulullah SAW sampai saat ini.
I. Ushul Fikih di
Era Rasulullah SAW
Pada
masa awal Islam, ketika Nabi Muhammad SAW sebagai sang pembawa risalah masih
ada, para sahabat sudah mempraktikan tata cara mengambil hukum dari Al-Quran
maupun Hadist. Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah SAW memimpin umat Islam
dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Saat Nabi SAW
berada di Makkah, embrio ushul fikih belum muncul, dikarenakan ayat-ayat yang
turun hanya seputar persoalan akidah, namun saat Nabi SAW hijrah ke Madinah dan
mulai memusatkan pemerintahan Islam disana, barulah nampak embrio Ushul Fikih,
dikarenakan ayat-ayat yang turun saat itu mayoritas adalah ayat-ayat hukum.
Konon,
Sahabat Abdullah Bin Mas’ud ditanya tentang berapa lama masa iddah
bagi seorang istri yang sedang hamil, maka beliau menjawab bahwa iddahnya
adalah sampai ia melahirkan bayi dalam kandungannya, berdasarkan firman Allah
Ta’ala :
و اللئى يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم
فعدتهن ثلاثة أشهر و اللئى لم يحضن وأولت الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ومن يتق الله
يجعل له من أمره يسرا
4.
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Dan
firman Allah Ta’ala yang turun sebelum ayat diatas yaitu:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن
أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن فى أنفسهن بالمعروف والله
بما تعملون خبير
234.
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Dari
dua ayat diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa sahabat Abdullah ibn Mas’ud
mengambil hukum dari nash tersebut dan secara tidak langsung mempraktikan
kaidah beristinbath yang sekarang
dikenal dengan ilmu ushul fikih. Adapun
kaidah tersebut yaitu
إن التص اللاحق ينسخ النص السابق maksudnya, bahwa nash
yang datang berikutnya dan hukumnya masih berkaitan, maka nash yang sebelumnya
dinasakh. (red: dihapus hukumnya)
Dari
kejadian Abdullah bin Mas’ud tersebut, secara tidak langsung Rasulullah SAW
telah mengajarkan kepada beliau dan para Sahabat umumnya untuk berijtihad, dan
mengambil hukum terhadap sebuah permasalahan yang berkaitan dengan kemaslahatan
umat Islam.
II. Ushul Fikih di
Era Khulafa ar-Rasyidun
Setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia, sistem pemerintahan kaum muslim saat itu
digantikan oleh para khalifah yang telah dipilih dari mufakat mayoritas sahabat
saat itu, dan disebut dengan Khulafa ar-Rasyidun. Mereka adalah Abu
Bakar as-Shiddiq (11H - 13H), Umar bin Khattab (13H - 23H), Ustman bin Affan (23H
- 35H), dan Ali bin Abi Thalib (35H- 40H).
Pada
masa pemerintahan para khalifah, umat Islam mulai banyak tersebar ke berbagai
penjuru dunia seperti Kufah, Bashrah, Syam dan Mesir. Sejalan dengan bertambah
luasnya area pemerintahan masyarakat muslim, tentu persoalan yang muncul juga
semakin banyak, dan tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Dalam
menghadapi berbagai persoalan, tentu yang pertama dilakukan para sahabat adalah
kembali ke Al-Quran, jika dalam Al-Quran masih belum ditemukan jawabannya
secara jelas, maka mereka kembali ke Hadist Nabi SAW, dan jika belum
menemukannya juga, mereka baru berijtihad dengan kaidah-kaidah syariat.
Saat
itu juga, banyak ditemui fatwa-fatwa yang muncul bagi peristiwa-peristiwa yang
tidak ada nashnya dalam Al-Quran maupun Sunnah, karena salah satu tugas para
Sahabat yang ditunjuk sebagai Gubernur di daerah mereka masing-masing adalah
sebagai pemegang otorias fikih jika ada permasalahan baru, dan mereka mulai
mengimplementasikan metode dan kaidah berintinbath seperti yang diajarkan
Rasulullah SAW.
Cara
semacam ini terus berkelanjutan hingga masa Sahabat berakhir dan beralih ke
masa Tabi’in, mereka hanya melanjutkan cara para sahabat dalam mengambil
hukum dan mengeluarkan kaidah-kaidah syariat dalam pengambilan dalil, karena
dekatnya masa mereka dengan masa sahabat yang langsung mengambil ilmu dari
Rasulullah SAW.
· III. Ushul
Fikih di Era Mujtahid
Fase
ini disebut sebagai fase sistematisasi, dimana Ushul Fikih mulai dibukukan
sebagai salah satu bidang ilmu dalam tata cara pengambilan hukum dalam syariat
Islam. Dan ulama yang pertama kali mempunyai inisiatif dalam hal ini adalah
Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’I (150H – 204H) dengan karya monumentalnya
yang berjudul Ar-Risalah.
Namun,
sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sebelum Imam Syafi’i membukukan Ushul
Fikih, pada zaman Imam Abu Hanifah ada ulama lain yang sudah membuat karangan
tentang ilmu beristinbath namun tidak ada manuskrip yang sampai ke zaman
setelahnya.
44.
Metodologi Para Ulama dalam Ilmu Ushul Fikih
Para ulama dalam mengarang ushul fikih menggunakan cara yang
berbeda, hal ini didasari oleh latar belakang mereka dalam mempelajari ilmu
syariat dari para guru. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
I.
Metode Ilmu Kalam
Dalam
mengambil hukum, para ulama ushul fikih mempunyai metode masing-masing untuk
dapat memahami nash dan mengambil hukum darinya, dan diantara metode yang
dipakai yaitu metode para ulama ahli ilmu kalam. Dalam hal ini, para mutakallimin
(red; ahli ilmu kalam) mempunyai ciri khas tersendiri, diantaranya adalah;
a. Lebih condong
kepada dalil ‘aqli dalam beristinbath
b. Tidak ada fanatisme
dalam madzhab tertentu
c. Meminimalisir
dalam pembahasan furu’ fiqhiyah, sekalipun dalam memberi
contoh dalam sebuah permasalahan
Metode
ini juga digunakan oleh kalangan Mu’tazilah, Syafi’iyah, Malikiyah dan
Hanabilah. Dan kitab-kitab yang dihasilkan melalui metode ini diantaranya adalah
Al-Burhan karya Imam Haramain (413 H), Al-Mushtashfa karya Imam Ghazali (505
H), dan Al-Mu’tamad karya ulama Mu’tazilah Abu Hasan Muhammad Bin Ali (436 H)
II.
Metode Hanafiyah atau Fuqoha
Selain
metode ilmu kalam yang disebutkan diatas, para ulama ushul fikih juga
memiliki cara pandang lain lain dalam beristimbath yang lebih dikenal dengan istilah
metode Hanafiyah atau Fuqoha. Tegasnya, dalam metode ini para ulama juga
memiliki ciri khas tersendiri, yaitu:
a. Lebih condong menambil
hukum dengan memulainya dari furu’ fiqhiyyah
b. Berpegang teguh
pada prinsip madzhab Hanafi sebagai imam madzhab
c. Melakukan
penelitian dan observasi khusus pada permasalahan yang dihadapi
Dan
beberapa kitab yang dikarang dengan metode Hanafiyah adalah Al-Ushul karya Imam
Abu Bakar bin Ali Al-Jashos (370 H), dan kitab Al-Ushul karya Imam Abu Zaid
Abdullah bin Umar Ad-Dabusi (430 H)
III.
Metode Kombinasi antara Ilmu Kalam dan Hanafiyah
Tidak puas dengan kedua metode diatas, para ulama membuka jalan
baru dengan cara menggabungkan kedua metode tersebut, Ilmu kalam dan Hanafiyah
Diantara ulama yang menggunakan metode ini adalah Malikiyah,
Hanafiyah, yah, dan Hanabilah. Dan kitab-kitab yang dilahirkan dalam metode ini
diantaranya adalah At-Tanqih karya Imam Abdullah bin Mas’ud Al-Hanafi (747 H),
Syarh at-Taudhih karya Imam Ahmad bin Ali Al-Hanafi (649 H)
55. Penutup
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam mengambil
hukum dari Al-Quran maupun Sunnah, tidak serta-merta menggunakan akal yang
masih kosong dan tidak memahami ilmu syariat dalam beristinbath. Oleh karena
itu, dalam bermuamalah dengan agama, masyarakat awam tidak bisa langsung
beristinbath tanpa belajar terlebih dahulu, dan wajib hukumnya bagi mereka yang
belum sampai ke tingkatan Mujtahid untuk mengambil hukum.
Semoga risalah singkat ini membawa manfaat bagi al-Faqir khususnya,
dan bagi kaum muslim pada umumnya, amin.
Daftar Pustaka
1
Dr. Ali Jumah
Muhammad, Tarikh Ushul Fiqh, Dar Muqatam, Kairo
3.
Jalaludin
as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Manar, Kairo.
4.
Muhammad
bin Idris as-Syafii, Ar-Risalah , Maktabah Dar al-Turath, Kairo. Tahqiq
Ahmad Muhammad Syakir
5.
Dr.
Ali Jumah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasat al-Madzhib al-Fiqhiyah, Dar
al-Salam, Kairo.
6.
Dr.
Ali Jumah Muhammad, Al-Mutasyaddidun, Dar Muqatam, Kairo
7.
Dr.
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Diktat tingkat III
Syariah Islamiah Universitas Al-Azhar
Dr.
Ali Jumah Muhammad, Tarikh Ushul Fiqh, Dar Muqatam, Kairo