Pertama
kali tiba di Mesir, diantara hal pertama yang saya lakukan adalah mencari guru
Al-Quran guna menjalankan wasiat kiyai saat beliau memberikan izin untuk
melanjutkan belajar ke Al-Azhar. Sebagai anak baru yang masih polos, jangankan
kenal seorang shaikh, mengetahui jalan untuk kembali ke rumah saja masih belum
bisa, tapi tekad untuk melaksanakan pesan dari Kiyai harus segera saya penuhi, “Kalau
sudah sampai di Mesir, jangan sampai lupa Al-Qurannya, dibaca terus dan lebih
baik lagi kalau dihafal, karena di Mesir banyak ulama-ulama Al-Quran yang
sanadnya tinggi dan langsung bersambung kepada Rasulullah”, lirih beliau
berpesan saat itu.
Hari-hari
pertama di Mesir sangat berkesan, butuh banyak penyesuaian kepada lingkungan
baru dan masyarakat baru. Dalam benak saya berkata, “Kalau mau tahu banyak
tentang para masyayikh Al-Azhar, hanya ada satu tempat untuk bisa
mengetahuinya, yaitu masjid Al-Azhar al-Syarif yang terletak di jantung kota Kairo
lama, tempat yang penuh dengan sejarah menyebarnya ilmu di Mesir”.
Nafas
suci Al-Azhar pun mulai tercium, harum, semerbak, dan berwibawa karena para ulama
dari pagi hingga petang silih berganti mengisi pengajian di beberapa bilik yang
akrab disebut dengan ruwaq. Berbagai cabang ilmu, mulai dari tingkat dasar
sampai tingkat paling akhir, mulai dari ilmu nahwu, mantiq, balaghah, tafsir,
hadis, fikih, tasawuf, dan berbagai cabang lainnya diajarkan di ruwaq-ruwaq
masjid yang karismatik ini. Rasa syukur tak terhingga, seorang bocah kecil ini
bisa menginjakkan kakinya beriringan dengan langkah para ahli ilmu tersebut.