Beberapa hari
ini suhu kota Kairo bisa dibilang mencapai puncak musim panas, angka pada tabel
suhu pun berkisar antara 35*- 40* C, bahkan bisa melebihi itu. Bagi kami yang
bukan penduduk asli Mesir, dari pada harus keluar dibawah terik matahari yang
menyengat, lebih sering memilih untuk berdiam diri di rumah, sambil menyalakan
pendingin ruangan dengan beberapa gelas minuman dingin, kecuali jika ada
keperluan yang mendesak.
Hari ini pun
diberitakan cuaca mencapai 41*C, menjemur baju pun tak sampai sejam sudah bisa kering.
Sempat hati bergumam dengan keadaan; “Beginilah rupanya, cara Allah
mengingatkan kami akan panasnya “padang mashsyar” yang telah dijanjikan kedatangannya
kelak, dimana matahari hanya berjarak satu jengkal dari kepala manusia yang
tidak memakai sehelai kain sama sekali dan panasnya begitu menusuk ke ubun-ubun”.
Sore hari, menjelang
maghrib cuaca sudah mulai mereda, meskipun malam harinya langit yang biasa
berwarna hitam kelam kini berubah menjadi hitam kemerah-merahan. Ya, saat
itulah kami bisa memanfaatkan waktu untuk memenuhi kebutuhan yang ada diluar
rumah. Ada yang ke pasar untuk belanja makanan, ada yang berkunjung ke rumah
kawan, dan berbagai keperluan lainnya.
Bagiku, salah
satu suasana yang paling romantis di Kairo adalah bersantai waktu sore di
halaman masjid Al-Azhar, meskipun hanya duduk bersandar dan membaca selembar
dua lembar kalam-kalam Ilahi, atau hanya sebatas mendengar beberapa nasehat
dari para Imam masjid selepas sholat. Mungkin inilah salah satu momen yang akan
sangat dirindukan ketika kelak sudah kembali ke tanah air tercinta.
Semilir angin
yang berhembus saling bergantian untuk memeluk tubuh yang mulai kering
kepanasan ini. Tiba-tiba ada seorang bapak dua anak yang datang menghampiriku,
dan berkata “Sa’ah kam dzil waqti ya basya?”, jam berapa sekarang nak? Aku pun
mengalihkan pandangan dan melihat jam tangan, “Jam setengah tujuh, pak”. “Kurang
berapa menit adzan maghrib?”, timpalnya. “Kira-kira lima belas menit lagi, pak!”,
sahutku. Kemudian bapak tersebut duduk disampigku dan mulai bertanya-tanya
tentang Negara asal, tingkat kuliah, dan sebagainya. Dan yang membuatku
tertegun adalah bapak ini bertanya dengan bahasa inggris, padahal aku tidak
mengerti banyak tentang bahasa inggris. Maka dengan agak konyol, kujawab saja
pertanyaanya dengan bahasa arab, sambil tertawa dalam hati.
Kesana-kemari
omonan kami mulai terarah pada suatu hal, pesan yang kuingat dan membuatku
tertegun sejenak ketika bapak ini bertanya. “Nanti setelah kamu pulang ke
Indonesia, apa yang akan kamu katakan jika ada orang bertanya kepadamu tentang Mesir
dan Al-Azhar? Setelah kamu disini dipelihara dengan baik, diberi beasiswa, dan
yang terpenting adalah ilmu yang telah kamu dapatkan selama empat tahun dari
para masyayikh Al-Azhar?”
Sejenak aku
terdiam, aku berpikir sebelum menjawab pertanyaan dari bapak tersebut. Aku mengingat
bahwa Al-Azhar yang telah terdzolimi dengan beberapa ulah sebagian oknum yang
membuat nama dan citra Al-Azhar menjadi kurang baik di Indonesia. Ya, mungkin
sudah menjadi rahasia umum, bahwa ada orang yang belajar di Al-Azhar kemudian pulang
ke Indonesia, justru tidak mencerminkan apa yang diajarkan oleh para masyayikh
Al-Azhar, mendakwahkan Islam radikal, liberal dan sejenisnya. Hal inilah yang
membuat Al-Azhar menjadi terdzolimi, seakan tercermin bahwa alumni Al-Azhar
semuanya tidak baik, padahal itu sangat jauh dari hakikat Al-Azhar yang
sebenarnya apa yang diajarkan oleh para ulama Al-Azhar.
Lantas, faktor
apakah yang menyebabkan alumni Mesir menjadi berbelok “membelakangi” Al-Azhar
ketika sudah pulang ke Indonesia? Mungkin, alasan yang paling sederhana adalah
karena mereka tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar, namun tidak
pernah menghadiri kuliah di Al-Azhar. Mungkin, karena mereka datang ke Mesir,
hidup di Mesir, dan belajar di Mesir, namun tidak belajar di Al-Azhar, dan
lebih memilih untuk belajar di rumah tanpa bimbingan seorang guru yang bisa
mengarahkan, karena Al-Azhar memang tidak mewajibkan para murid untuk duduk di
kelas bersama dengan para guru. Seharusnya para murid itu menyadari, bahwa sebenarnya
Al-Azhar tidak butuh kepada mereka, tapi merekalah yang butuh kepada Al-Azhar. Karena
tanpa mereka pun Al-Azhar akan tetap berdiri kokoh dan teap eksis menjadi
kiblat ilmu dan ulama bagi umat Islam. Dan mungkin jika di akhirat kelak
Al-Azhar disuruh bersaksi di hadapan Allah, mungkin Al-Azhar akan berkata, “Karena
kalianlah, aku menjadi terdzolimi, namaku jadi jelek dan citraku menjadi buruk
di sebagian kalangan, dan itulah yang menyebabkan sebagian orang enggan bahkan
benci ketika mendengar nama Al-Azhar”.
Salah satu guru
pernah menasehati kami, bahwa Mesir dan Al-Azhar adalah tempatnya ilmu dan
ulama, tak ada paksaan untuk mengahdiri majelis ilmu, mereka yang hadir
hanyalah orang-orang yang rindu dan punya niat yang kuat untuk mencari ilmu. Maka
barang siapa yang tidak menjadikan keduanya sebagai tujuan utama keberadaannya
di Mesir, maka sebaiknya kembali saja, dan pulang ke Negaranya masing-masing!
“Hey, nak, kamu
melamun?” Tegur bapak tadi membangunkanku dari pikiranku. “Oh, maaf pak, saya
hanya merenung dan bingung, bagaimana nanti saya mengatakan kepada semua orang
tentang berapa banyak kebaikan Mesir dan Al-Azhar yang telah diberikan kepada
saya, bagaimanapun saya tidak bisa membalas jasa dari keduanya, pak. Yang jelas,
saya akan mengatakan bahwa saya sangat mencintai Mesir sebagai Ayah dan
Al-Azhar sebagai Ibu saya, dan saya akan menjaga nama baik keduanya sesuai
kemampuan saya.
Bapak tadi
tersenyum, tak lama kemudian adzan maghrib mulai berkumandang dan kami pun bersalaman
dan bersiap-siap untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
Kairo, 8 Agustus 2015