Sabtu, 08 Agustus 2015

Karena Mereka, Aku Terdzolimi


Beberapa hari ini suhu kota Kairo bisa dibilang mencapai puncak musim panas, angka pada tabel suhu pun berkisar antara 35*- 40* C, bahkan bisa melebihi itu. Bagi kami yang bukan penduduk asli Mesir, dari pada harus keluar dibawah terik matahari yang menyengat, lebih sering memilih untuk berdiam diri di rumah, sambil menyalakan pendingin ruangan dengan beberapa gelas minuman dingin, kecuali jika ada keperluan yang mendesak.

Hari ini pun diberitakan cuaca mencapai 41*C, menjemur baju pun tak sampai sejam sudah bisa kering. Sempat hati bergumam dengan keadaan; “Beginilah rupanya, cara Allah mengingatkan kami akan panasnya “padang mashsyar” yang telah dijanjikan kedatangannya kelak, dimana matahari hanya berjarak satu jengkal dari kepala manusia yang tidak memakai sehelai kain sama sekali dan panasnya begitu menusuk ke ubun-ubun”.

Sore hari, menjelang maghrib cuaca sudah mulai mereda, meskipun malam harinya langit yang biasa berwarna hitam kelam kini berubah menjadi hitam kemerah-merahan. Ya, saat itulah kami bisa memanfaatkan waktu untuk memenuhi kebutuhan yang ada diluar rumah. Ada yang ke pasar untuk belanja makanan, ada yang berkunjung ke rumah kawan, dan berbagai keperluan lainnya.

Bagiku, salah satu suasana yang paling romantis di Kairo adalah bersantai waktu sore di halaman masjid Al-Azhar, meskipun hanya duduk bersandar dan membaca selembar dua lembar kalam-kalam Ilahi, atau hanya sebatas mendengar beberapa nasehat dari para Imam masjid selepas sholat. Mungkin inilah salah satu momen yang akan sangat dirindukan ketika kelak sudah kembali ke tanah air tercinta.

Semilir angin yang berhembus saling bergantian untuk memeluk tubuh yang mulai kering kepanasan ini. Tiba-tiba ada seorang bapak dua anak yang datang menghampiriku, dan berkata “Sa’ah kam dzil waqti ya basya?”, jam berapa sekarang nak? Aku pun mengalihkan pandangan dan melihat jam tangan, “Jam setengah tujuh, pak”. “Kurang berapa menit adzan maghrib?”, timpalnya. “Kira-kira lima belas menit lagi, pak!”, sahutku. Kemudian bapak tersebut duduk disampigku dan mulai bertanya-tanya tentang Negara asal, tingkat kuliah, dan sebagainya. Dan yang membuatku tertegun adalah bapak ini bertanya dengan bahasa inggris, padahal aku tidak mengerti banyak tentang bahasa inggris. Maka dengan agak konyol, kujawab saja pertanyaanya dengan bahasa arab, sambil tertawa dalam hati.

Kesana-kemari omonan kami mulai terarah pada suatu hal, pesan yang kuingat dan membuatku tertegun sejenak ketika bapak ini bertanya. “Nanti setelah kamu pulang ke Indonesia, apa yang akan kamu katakan jika ada orang bertanya kepadamu tentang Mesir dan Al-Azhar? Setelah kamu disini dipelihara dengan baik, diberi beasiswa, dan yang terpenting adalah ilmu yang telah kamu dapatkan selama empat tahun dari para masyayikh Al-Azhar?”

Sejenak aku terdiam, aku berpikir sebelum menjawab pertanyaan dari bapak tersebut. Aku mengingat bahwa Al-Azhar yang telah terdzolimi dengan beberapa ulah sebagian oknum yang membuat nama dan citra Al-Azhar menjadi kurang baik di Indonesia. Ya, mungkin sudah menjadi rahasia umum, bahwa ada orang yang belajar di Al-Azhar kemudian pulang ke Indonesia, justru tidak mencerminkan apa yang diajarkan oleh para masyayikh Al-Azhar, mendakwahkan Islam radikal, liberal dan sejenisnya. Hal inilah yang membuat Al-Azhar menjadi terdzolimi, seakan tercermin bahwa alumni Al-Azhar semuanya tidak baik, padahal itu sangat jauh dari hakikat Al-Azhar yang sebenarnya apa yang diajarkan oleh para ulama Al-Azhar.

Lantas, faktor apakah yang menyebabkan alumni Mesir menjadi berbelok “membelakangi” Al-Azhar ketika sudah pulang ke Indonesia? Mungkin, alasan yang paling sederhana adalah karena mereka tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar, namun tidak pernah menghadiri kuliah di Al-Azhar. Mungkin, karena mereka datang ke Mesir, hidup di Mesir, dan belajar di Mesir, namun tidak belajar di Al-Azhar, dan lebih memilih untuk belajar di rumah tanpa bimbingan seorang guru yang bisa mengarahkan, karena Al-Azhar memang tidak mewajibkan para murid untuk duduk di kelas bersama dengan para guru. Seharusnya para murid itu menyadari, bahwa sebenarnya Al-Azhar tidak butuh kepada mereka, tapi merekalah yang butuh kepada Al-Azhar. Karena tanpa mereka pun Al-Azhar akan tetap berdiri kokoh dan teap eksis menjadi kiblat ilmu dan ulama bagi umat Islam. Dan mungkin jika di akhirat kelak Al-Azhar disuruh bersaksi di hadapan Allah, mungkin Al-Azhar akan berkata, “Karena kalianlah, aku menjadi terdzolimi, namaku jadi jelek dan citraku menjadi buruk di sebagian kalangan, dan itulah yang menyebabkan sebagian orang enggan bahkan benci ketika mendengar nama Al-Azhar”.

Salah satu guru pernah menasehati kami, bahwa Mesir dan Al-Azhar adalah tempatnya ilmu dan ulama, tak ada paksaan untuk mengahdiri majelis ilmu, mereka yang hadir hanyalah orang-orang yang rindu dan punya niat yang kuat untuk mencari ilmu. Maka barang siapa yang tidak menjadikan keduanya sebagai tujuan utama keberadaannya di Mesir, maka sebaiknya kembali saja, dan pulang ke Negaranya masing-masing!

“Hey, nak, kamu melamun?” Tegur bapak tadi membangunkanku dari pikiranku. “Oh, maaf pak, saya hanya merenung dan bingung, bagaimana nanti saya mengatakan kepada semua orang tentang berapa banyak kebaikan Mesir dan Al-Azhar yang telah diberikan kepada saya, bagaimanapun saya tidak bisa membalas jasa dari keduanya, pak. Yang jelas, saya akan mengatakan bahwa saya sangat mencintai Mesir sebagai Ayah dan Al-Azhar sebagai Ibu saya, dan saya akan menjaga nama baik keduanya sesuai kemampuan saya.

Bapak tadi tersenyum, tak lama kemudian adzan maghrib mulai berkumandang dan kami pun bersalaman dan bersiap-siap untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.


Kairo, 8 Agustus 2015

 

Blogger news

Blogroll

About